28 JANUARI 2017 : " SELAMAT ATAS PENDEWASAAN GKJB PEP.BANSEL MENJADI GKJ BANSEL " GKJ BANSEL: Firman Tuhan , Minggu Paskah V, 18 Mei 2014

Translate

Minggu, 18 Mei 2014

Firman Tuhan , Minggu Paskah V, 18 Mei 2014

“Jalan Berbatu Ke Rumah Bapa”
Kis. 7:55-60; Maz. 31:2-6,16-17; I Pet. 2:2-10; Yoh. 14:1-14

Dalam sebuah perbincangan tentang butir-butir kebijakan Jawa, ada pecakapan seru tentang pandangan Jawa yang berbunyi “Urip kuwi mung mampir ngombe” (Hidup itu hanya mampir minum). Ada seorang yang nyeletuk “Lha ning yen ngombene pait terus, nggih wegah ta, pak. Njuk nika, yen urip niku kaya cakra manggilingan, lha yen ndilalah rodha uripe dhewe pas ten ngisor, njuk macet, boten ngglindhing, njuk pripun niku jal? (Ya tapi kalau minumnya pahit terus khan ya nggak mau ta ya pak? Lalu itu, kalau hidup ini seperti seperti Cakra Manggilingan/roda yang berputar, kalau kebetulan kita berada di bawah, lalu macet tidak menggelinding, lalu bagaimana itu coba?). Yah, itu, hanyalah sebuah percakapan sambil lalu yang cenderung asal-asalan bicara saja. Tetapi dari percakapan itu, saya sempat merenung, “Iya ya, kalau begitu lalu bagaimana ya?”.
Bacaan kita minggu ini berbicara tentang batu. Mulai dari batu-batu yang dipakai untuk melempari Stefanus dalam bacaan I, analogi batu dalam pembangunan jemaat di bacaan II, sampai ungkapan batu tempat perlindungan dalam Mazmur. Betapa sebuah benda yang sama (batu) bisa dipandang dan dihayati secara berbeda-beda. Batu bisa menjadi alat membunuh, namun batu yang sama bisa sebagai sarana keberlanjutan kehidupan (tempat perlindungan).
Maka, sesungguhnya, minggu ini kita akan diajak untuk merenungkan kehidupan kita. Betapa dalam perziarahan hidup kita di muka bumi ini, dalam kehidupan yang singkat seakan hanya sepeminum teh, di tengah telanan roda kehidupan yang penuh ketidak pastian ini, bagaimana kita memandang dan menjalani kehidupan? Kalau boleh digambarkan, memang kehidupan kita tidak selalu berjalan mulus seperti yang kita angankan. Terkadang kita menjumpai kerikil-kerikil di kehidupan ini, sampai batu besar yang menghalangi langkah jalan kita. Dari rangkaian bacaan kita, sesungguhnya, kita mau diajak untuk berpikir positif dan optimis. Betapa Stefanus yang meregang nyawa karena hujaman batu ... sampai Kristus yang mati dan yang oleh penulis Surat Petrus digambarkan justru menjadi batu penjuru (I Pet.2:6).
Maka, jika Bacaan Injil (Yoh. 14) berbicara tentang jalan, (kebenaran) dan kehidupan, marilah kita membayangkan bukan sebagai jalan tol nan mulus. Jalan Kristus adalah Jalan Salib. Jalan yang berbatu, penuh onak duri dan segala tantangan bahkan bahaya. Jalan yang tidak mudah untuk dilalui. Maka kalau kita boleh sedikit menggubah gambaran Surat Petrus tentang jemaat sebagai batu-batu dalam kerangka pembangunan sebuah rumah, mari kita coba bayangkan, batu-batu itu sebagai sarana membangun jalan. Batu-batu tersebut, sama-sama perlu ditata. Dan batu-batu itu adalah kita-kita sebagai jemaat-Nya. Mari kita menata kehidupan bersama ini seperti menata batu-batu untuk membangun sebuah jalan. Jalan yang melanjutkan jalan yang telah diawali oleh Yesus. Yang diperlukan adalah, kesediaan setiap kita ditata oleh Tuhan melalui lembaga yang dikuduskan-Nya sendiri, Gereja. Sebagai gereja, seluruh jemaat diikat erat, ditutupi dan direkatkan dengan ‘aspal-Nya’, yakni Darah Kristus. Yang diperlukan adalah kesedian diri untuk tidak dilihat orang, bahkan diinjak-injak dengan stoomwalls sekalipun, demi memuluskan Jalan Kristus menuju ke Rumah Bapa, dalam damai surgawi-Nya. Hingga semua orang terpanggil kepada-Nya, turut menjadi batu-batu kehidupan, dan ikut dalam perjalanan perziarah di hidup ini.
Selamat menjadi batu kehidupan. Tuhan memberkati. Amin. (fir)

BG tanggal 18 Mei 2014, Minggu ke-20-2014


Tidak ada komentar:

Posting Komentar