“Jalan
Berbatu Ke Rumah Bapa”
Kis. 7:55-60; Maz. 31:2-6,16-17; I Pet. 2:2-10; Yoh. 14:1-14
Dalam
sebuah perbincangan tentang butir-butir kebijakan Jawa, ada pecakapan seru
tentang pandangan Jawa yang berbunyi “Urip
kuwi mung mampir ngombe” (Hidup itu hanya mampir minum). Ada seorang yang
nyeletuk “Lha ning yen ngombene pait
terus, nggih wegah ta, pak. Njuk nika, yen urip niku kaya cakra manggilingan,
lha yen ndilalah rodha uripe dhewe pas ten ngisor, njuk macet, boten
ngglindhing, njuk pripun niku jal? (Ya tapi kalau minumnya pahit terus khan
ya nggak mau ta ya pak? Lalu itu, kalau hidup ini seperti seperti Cakra Manggilingan/roda yang berputar,
kalau kebetulan kita berada di bawah, lalu macet tidak menggelinding, lalu
bagaimana itu coba?). Yah, itu, hanyalah sebuah percakapan sambil lalu yang
cenderung asal-asalan bicara saja. Tetapi dari percakapan itu, saya sempat
merenung, “Iya ya, kalau begitu lalu bagaimana ya?”.
Bacaan
kita minggu ini berbicara tentang batu. Mulai dari batu-batu yang dipakai untuk
melempari Stefanus dalam bacaan I, analogi batu dalam pembangunan jemaat di
bacaan II, sampai ungkapan batu tempat perlindungan dalam Mazmur. Betapa sebuah
benda yang sama (batu) bisa dipandang dan dihayati secara berbeda-beda. Batu
bisa menjadi alat membunuh, namun batu yang sama bisa sebagai sarana
keberlanjutan kehidupan (tempat perlindungan).
Maka,
sesungguhnya, minggu ini kita akan diajak untuk merenungkan kehidupan kita.
Betapa dalam perziarahan hidup kita di muka bumi ini, dalam kehidupan yang
singkat seakan hanya sepeminum teh, di tengah telanan roda kehidupan yang penuh
ketidak pastian ini, bagaimana kita memandang dan menjalani kehidupan? Kalau
boleh digambarkan, memang kehidupan kita tidak selalu berjalan mulus seperti
yang kita angankan. Terkadang kita menjumpai kerikil-kerikil di kehidupan ini,
sampai batu besar yang menghalangi langkah jalan kita. Dari rangkaian bacaan
kita, sesungguhnya, kita mau diajak untuk berpikir positif dan optimis. Betapa
Stefanus yang meregang nyawa karena hujaman batu ... sampai Kristus yang mati
dan yang oleh penulis Surat Petrus digambarkan justru menjadi batu penjuru (I
Pet.2:6).
Maka,
jika Bacaan Injil (Yoh. 14) berbicara tentang jalan, (kebenaran) dan kehidupan,
marilah kita membayangkan bukan sebagai jalan tol nan mulus. Jalan Kristus
adalah Jalan Salib. Jalan yang berbatu, penuh onak duri dan segala tantangan
bahkan bahaya. Jalan yang tidak mudah untuk dilalui. Maka kalau kita boleh
sedikit menggubah gambaran Surat Petrus tentang jemaat sebagai batu-batu dalam
kerangka pembangunan sebuah rumah, mari kita coba bayangkan, batu-batu itu
sebagai sarana membangun jalan. Batu-batu tersebut, sama-sama perlu ditata. Dan
batu-batu itu adalah kita-kita sebagai jemaat-Nya. Mari kita menata kehidupan
bersama ini seperti menata batu-batu untuk membangun sebuah jalan. Jalan yang
melanjutkan jalan yang telah diawali oleh Yesus. Yang diperlukan adalah,
kesediaan setiap kita ditata oleh Tuhan melalui lembaga yang dikuduskan-Nya
sendiri, Gereja. Sebagai gereja, seluruh jemaat diikat erat, ditutupi dan
direkatkan dengan ‘aspal-Nya’, yakni Darah Kristus. Yang diperlukan adalah
kesedian diri untuk tidak dilihat orang, bahkan diinjak-injak dengan stoomwalls sekalipun, demi memuluskan
Jalan Kristus menuju ke Rumah Bapa, dalam damai surgawi-Nya. Hingga semua orang
terpanggil kepada-Nya, turut menjadi batu-batu kehidupan, dan ikut dalam
perjalanan perziarah di hidup ini.
Selamat
menjadi batu kehidupan. Tuhan memberkati. Amin. (fir)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar